3 Pilar Penting dalam Ekonomi Kreatif

Desainer diajak kumpul-kumpul dan ngobrol-ngobrol.. kira-kira akan mendapatkan apa? Begitulah pemikiran singkat saya dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung di dalam mobil travel.

Indesignation, begitulah nama acaranya. Diadakan di tempat yang unik dan menarik sekali yaitu Gudang Pengadaan milik KAI (Kereta Api Indonesia) yang terletak di Selatan Bandung. Acara ini menghadirkan empat narasumber yang menurut saya memiliki latar belakang ekosistem desain yang berbeda namun saling melengkapi. Saya diundang sebagai moderator untuk keempat narasumber tadi.

Mas Singgih Susilo Kartono – yang dikenal dengan produk radio kayu Magno dan sepeda bambu Spedagi. Bang Sabar Situmorang sebagai wirausahawan sukses pemilik toko-toko apparel & accessories Rockets Indonesia, lalu Harry Bebek yang sukses mengelola Amygdala Design, rumah desain dan produksi produk dari bambu dan keramik. Yang terakhir adalah Isabella Haas, satu-satunya narasumber asing dari Finland dan satu-satunya desainer wanita.

Mendengar paparan dan cerita pengalaman mereka sungguh memberikan wawasan yang berharga. Indonesia yang saat ini sedang giat dan asik membangun ekosistem ekonomi kreatif nampaknya memberikan dampak semangat bagi banyak desainer-desainer muda yang hadir. Selain keempat narasumber, saya pun sempat berbincang-bincang dengan Ibu Fafa dari Bank Mandiri. Beliau aktif dalam program Wirausaha Muda Mandiri. Saya perlu mengorek dari Ibu Fafa ini perihal sejauh mana dukungan industri perbankan dalam ekosistem ekonomi kreatif. Seperti yang pernah saya tulis di blog saya perihal salah kaprah-nya ekonomi kreatif, yaitu kelemahannya bukan pada hal kreatifnya melainkan di hal ekonominya. Saya butuh pandangan lain dari pihak ekonom selain dari pihak-pihak kreatif.

Kesimpulan saya, program ekonomi kreatif ini ternyata butuh 3 pilar utama, yang diadaptasi dari pemikiran Rei Inamoto, Chief Creative Officer dari AKQA yang memaparkan ketiga komponen tadi dalam ekosistem inkubasi start up digital. Yaitu.. hipster, hacker, dan hustler.

  • Hipster: dialah visioner desain, berfikir tentang produk yang cool, baik, bagus, dan berbeda. Jangan tanya kepada dia bagaimana detik teknis cara pembuatannya dan cara menjualnya. Karena si hipster sudah terlalu sibuk dan fokus memikirkan hal-hal kecil dan detil dari produk tersebut. Kita punya banyak sosok hipster di Indonesia bukan?
  • Hacker: dalam dunia start up digital, merekalah yang dikenal sebagai programer, developer, dan coder yang paling paham dalam menjawab HOW. Dalam konteks desain, mereka adalah sosok yang paling paham teknis. Teknis pembuatan, produksi dan seterusnya. Untuk contoh Kang Harry Bebek, hacker-nya adalah para pengrajin bambu dan keramik.
  • Hustler: Nah ini dia yang paling penting di ekonomi kreatif.. adalah mereka yang paling paham jualan atau business. Matanya bukan cuma jeli melihat barang yang bagus tapi hidungya pun tajam dalam mengendus peluang pasar dan business. Ia tahu betul mana produk yang laku dan yang tidak dipasaran. Dalam dunia desain, mereka inilah yang paham dalam strategi marketing dan branding.

Dari komposisi ketiganya maka akan lahirlah sebuah kolaborasi ideal dalam sebuah ekonomi kreatif. Suka tidak suka, ketika kita harus berbicara dalam konteks ekonomi.. maka faktor-faktor dasar ekonomi tidak bisa diabaikan. Saya berfikir, program ekonomi kreatif nasional ini butuh banyak sekali hustler. Akan timpang jika ekosistem ekonomi kreatif ini hanya diisi oleh hipster dan hacker-nya saja.

Dalam beberapa acara di kampus desain, saya sering sekali menemukan banyak mahasiswa desain yang piawai, ahli, dan skillful dalam hal teknis. Baik itu teknis desain komputer grafik, video shooting – editing, animasi, bahkan 3D printing. Mereka ini layak dikategorikan sebagai kelompok hacker. Sementara mereka yang fokus dalam mendesain secara komunikasi, konsep estetika, dan bentuk, adalah mereka yang dikategorikan sebagai hipster.

Di akhir acara, saya melihat antusias yang tinggi dari teman-teman desainer yang hadir. Antusias ini mustinya mampu juga membangkitkan kesadaran akan pentingnya kolaborasi, baik dengan para “hacker” dan tentunya juga dengan para “hustler“. Kesimpulan saya, silakan tentukan peran kalian ada di mana dalam ekosistem ekonomi kreatif ini, mau jadi peran hipster? hacker? atau hustler? Jika tidak masuk dalam ketiganya jangan-jangan malah termasuk kategori hawker* saja? 😉

 

*hawker : penjaja

**DitulisDiTravelDalamPerjalananPulangKeJakarta

«
»

6 comments on “3 Pilar Penting dalam Ekonomi Kreatif”

  1. Fafa Sharief says:

    Hi
    Pak Motulz, thank you for contributing on our event last weekend..we are delighted to disscuss more with you about a lot of creative things. Please be in touch…and look forward to hear from you.

    Fafa

    1. motulz says:

      Halo Mbak Fafa 🙂

      Terima kasih juga kemarin sudah mengundang ke acaranya yang seru banget 🙂 Ditunggu undangan acara atau ngobrol2nya mbak.. Sukses terus program Wirausaha Mandiri Muda nya!

  2. wah maju terus ekonomi kreatif indonesia terus berinovasi

    1. motulz says:

      mantap! 😀

  3. lasealwin says:

    Ekonomi kreatif memang bagus.
    Sekarang tergantung uang di tangan rakyat, bagaimana mereka bisa membeli ini-itu (termasuk hasil karya kreatif tadi) jika untuk makan dan minum saja mereka terbatas/ menghemat?
    Sulit mencari pembeli ketika kebanyakan rakyat ekonominya masih belum mapan.
    Salam….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: