Sang Penjinak Bom, Antara Hidup dan Mati

Sejak kecil, entah kenapa saya sudah tidak suka dengan yang namanya polisi. Mungkin karena saya trauma dengan sikap arogannya. Saat SD saya dan kakak saya pernah naik motor tanpa helm keluar komplek, lalu dihentikan seorang oknum polisi. Ia menginterogasi kakak saya, sementara saya hanya menyimak sambil tolak pinggang (tak sadar). Seketika saya dibentak oleh oknum polisi itu sambil membentak, “turunkan tanganmu! kamu menantang ya?”. Dengan reflek saya turunkan kedua tangan dengan posisi seperti anak berbaris, sambil gemetar.

Awal April 2016 lalu, saya datang ke sebuah mal di sekitaran Gandaria Jakarta Selatan untuk sebuah pekerjaan. Di sana sedang berlangsung sebuah pameran besar kepolisian Metro Jaya, yaitu Jakarta Metropolitan Police Expo 2016. Ramai sekali, karena nampaknya hampir semua direktorat di bawah payung Polda Metro hadir di sana. Saya pribadi awalnya hanya tertarik melihat-lihat dua hal saja, yaitu mbak-mbak polwan yang cantik dan persenjataan.

Saya terhenti di booth milik Gegana, atau pasukan penjinak bom. Awalnya saya terpikat dengan pakaian khusus mereka yang nampak seperti baju astronot di film The Martian. Saat melihat-lihat saya menguping pembicaraan pengunjung dengan salah satu polisi yang jaga. Penjelasannya baik sekali, penyampaiannya pun ramah sekali. Setelah nguping, saya nimbrung bertanya ini dan itu. Ia menjawab santai dan mencerahkan. Lalu saat saya bertanya tentang senjata, ia mempersilakan saya bertanya pada temannya yang lebih ahli – katanya. Sambil tersenyum, teman lainnya itu mempersilakan saya bertanya tentang persenjataan milik Gegana.

Mas Eko, nama polisi Gegana yang menceritakan saya tentang senjata. Ternyata ia adalah seorang snipper (penembak jarak jauh) di tim Gegana. Ia bercerita bagaimana ia harus bekerja sendiri sebelum tim lain datang. Bahkan teman satu timnya pun tidak boleh tahu kemana ia pergi saat mencari posisi pembidikan jarak jauh. Kekaguman saya pada cerita Mas Eko mengingatkan saya pada film-film Hollywood, namun Mas Eko menjelaskan perbedaannya. Penembak jarak jauh di Gegana itu posisinya tidak sampai 500 m apalagi 1 km. Ia hanya menjadi semacam “menara pengawas” di saat teman-temannya bergerak di lokasi yang diduga berbahaya. Senapan yang digunakan pun bukan tipe senjata snipper yang long range (jarak jauh).

 

Di luar kecanggihan Mas Eko, saya tidak menyangka bahwa pemuda asal Jogja ini ramah dan menyenangkan sekali untuk diajak ngobrol. Ia bercerita bahwa sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi polisi. Tapi pilihan menjadi pasukan Gegana dipilihnya saat ia sudah dewasa. Sama seperti Mas Yudha yang menjelaskan pakaian pelindung bom tadi. Pertanyaan saya pun agak lugu ke Mas Yudha, yaitu: siapa sih yang berwenang menentukan siapa yang harus maju menjinakkan bom di TKP? Apakah itu ditunjuk? atau sukarela? Ternyata memang penunjukkan, akan tetapi si petugas yang ditunjuk boleh mengajukan keberatan jika merasa tidak siap. Di sini nampak sekali sisi kemanusiaan dan psikologis menjadi pertimbangan penting. Menghadapi sebuah bom di depan muka itu bukan hal sepele. Di saat itu sang petugas sudah harus siap 90% tangannya akan hancur jika situasi buruk bom mendadak meledak. Saya baru tahu bahwa pakaian penjinak bom itu tidak melindungi tangan. Jadi jika bom meledak, bisa jadi si petugas tidak meninggal namun bisa dipastikan tangan mereka akan cedera berat.

Mas Yudha bercerita, bahwa saat ia berjalan dengan mengenakan pakaian anti bom, suasana di dalam pakaian itu hening sekali. Hanya mendengar suara nafasnya sendiri. Karena ia tidak bisa berkomunikasi dengan petugas lain. Di situ ia menghadapi situasi antara hidup dan mati. Begitu pula ternyata, baju pelindung penjinak bom itu tidak dilengkapi fasilitas alat komunikasi. Alasannya? karena dikhawatirkan bom yang sedang dijinakkan itu menggunakan alat pemantik dengan sinyal radio jarak jauh. Dikhawatirkan sinyal radio komunikasinya malah menjadi pemicu bom untuk meledak.

 

Ketegangan mereka itu bertambah karena beratnya baju yang dikenakan itu. Kurang lebih seperti kita mengangkat 2 galon air mineral lah. Berat akibat material yang digunakan baju tersebut sebagai bahan pelindung. Itu pun hanya bagian depan saja, bagian belakangnya sama sekali tidak ada bahan pelindung. Maka saat petugas akan menjauh dari bom, ia tidak boleh membalikan badannya. Namun harus berjalan mundur saat menjauhi bom.

Cerita-cerita seperti ini seolah membuka mata saya, bahwa pekerjaan polisi memang dekat dengan ancaman. Dari skala yang paling kecil hingga yang paling besar. Rasa sebal saya pada polisi akibat seorang oknum memang wajar, tapi jika sudah melihat sebegitu banyak polisi baik dengan tugas yang diembannya, rasanya tidak fair juga jika saya mencap buruk semua polisi. Maaf ya bapak dan ibu polisi kalau saya pernah buruk sangka atas kalian 🙂 Maklum ya.. namanya juga anak-anak.

Acara Police Expo kemarin saya pikir menarik dan baik. Terlebih dengan hadirnya banyak anak-anak dan terlibat dalam berbagai acara hiburan yang menyenangkan, seperti lomba menggambar dan mewarnai. Bagaimana pun polisi adalah bagian dari masyarakat, begitu pun sebaliknya bahwa masyarakat selayaknyalah menjadi partner polisi dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

 

«
»

2 comments on “Sang Penjinak Bom, Antara Hidup dan Mati”

  1. mantap ngambil keputusannya tegas

    1. motulz says:

      setuju

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: