Hacker, Hipster, Hustler… Hawker?

Buat mereka yang berkecimpung di dunia startup digital pasti sudah mengenal istilah 3H ini. Hacker adalah mereka yang menguasai bidang produksi, Hipster adalah mereka yang menguasai bidang ide dan gagasan kreatif, lalu Hustler yaitu mereka yang menguasai bidang bisnis. Ketiga pengelompokan ini bertujuan untuk memudahkan para pegiat startup digital dalam mengkategorikan keahlian juga untuk memudahkan dalam berkolaborasi. Ingat… karena era digital networking saat ini makin menunjukkan jika berkolaborasi adalah sebuah kekuatan baru.

Kolaborasi, kekuatan di era teknologi

Ketiga kategori barusan sebetulnya bukan istilah baru, istilah ini muncul sekitar tahun 2012 dari presentasi Rei Inamoto, seorang Chief Creative Officer dari AKQA , sebuah agency periklanan yang berhasil mengkombinasikan kekuatan teknologi dengan ide-ide kreatif periklanan. Namun seiring waktu, konsep 3H ini menjadi begitu “laris” diadaptasi oleh banyak perusahaan rintisan digital sebagai cara yang efektif dalam membangun tim kerja yang melahirkan banyak aplikasi (apps).

Saya pernah menjabarkan definisi apa saja dari 3H barusan di unggahan tautan ini, namun agar memudahkan saya coba tuliskan ulang saja di sini, yaitu…

Hipster: mereka yang memiliki ide, gagasan, yang visioner, dan kreatif. Mereka berfikir tentang produk yang cool, baik, bagus, dan berbeda. Jangan tanya kepada mereka bagaimana detil-detil teknis cara pembuatan dan cara menjualnya. Karena si hipster sudah terlalu sibuk dan fokus memikirkan hal-hal kecil yang unik dan detil menarik dari produk tersebut. Indonesia punya banyak sekali sosok hipster bukan?

Hacker: dalam dunia start up digital, merekalah yang dikenal sebagai programer, developer, dan coder yang paling paham dalam menjawab bagaimana ide si Hipster bisa diproduksi. Dalam konteks desain, mereka adalah sosok yang paling paham persoalah teknis dan produksi. Cara pembuatan, produksi murah, material, dan seterusnya.

Hustler: Nah ini dia yang paling penting baik di ekonomi kreatif maupun startup digital, yakni mereka yang paling paham cara jualan atau me-monetizing. Matanya bukan cuma jeli melihat barang yang bagus tapi hidungya pun tajam dalam mengendus peluang pasar dan business. Ia tahu betul mana produk yang laku dan yang tidak di pasaran.

Melihat perkembangan dunia digital dan startup di Indonesia, tentu cukup membuat kita menggeleng-gelengkan kepala. Pertumbuhan dan penetrasinya begitu cepat dan terasa, terlebih di masa pandemi antara tahun 2020-2021. Hal yang “melejit” adalah penggunaan aplikasi digital untuk jual beli. Mulai dari jual beli barang kebutuhan, barang hobi, barang koleksi, sampai barang UMKM. Jika dulu para netizen Indonesia enggan belanja online karena khawatir masalah keamanan, kini entah sudah ada berapa banyak pedagang atau penjual yang meluaskan berjualannya di dunia online. Pertumbuhan yang luar biasa ini pun melahirkan kebiasaan dan perilaku baru dalam berjualan online. Fenonema ini yang mengenalkan kita dengan profesi baru yaitu reseller dan jastip (jasa nitip).

Teknologi menembus batas generasi

Awalnya, hampir banyak para penjual online di market place adalah reseller. Mereka ini tidak memiliki produk sendiri melainkan menjualkan barang pihak lain. Mereka hanya terima pesanan lalu barang dipesan dan ketika barang tiba baru dikirim ke pembeli. Tumbuhnya profesi reseller ini muncul sejak market place barang dari China sudah begitu mudah diakses. Ada juga mereka yang beli barang dari China tadi dalam jumlah banyak, sampai harus pakai jasa container atau peti kemas. Mereka ini lah yang dikenal dengan jastip. Walau demikian skema jastip ini berkembang kepada jasa nitip barang satuan atau pritilan, yang dimanfaatkan oleh para traveller yang menerima titipan belanja barang di negara yang mereka tuju.

Perubahan dan perkembangan ini jelas menghasilkan kelompok ekonomi dan profesi baru. Dulu – di tahun 2012 saat Rei meluncurkan gagasan 3H, Indonesia masih belum segila ini dengan ekonomi digital. Jaman itu pengguna internet masih enggan melakukan transaksi online, termasuk belanja online. Beberapa market place pada masa itu pun belum sebesar sekarang, baik penjual maupun pembelinya.

Dari fenomena reseller dan jastip ini, saya jadi melihat ada sebuah kelompok baru yang khas Indonesia. Kita tahu bagaimana kekuatan sebuah komunitas di Indonesia, begitu penting dan besar sekali bukan? Budaya guyub, nongkrong bareng, nge-genk, atau ormas sekali pun, menjadi bukti bagaimana sebuah kekuatan kelompok ini begitu besar dan khas orang Indonesia. Tentu kita semua tidak bisa menutup mata bagaimana produk busana muslim – atau sekedar kerudung pun begitu besar transaksi jual-belinya lewat kelompok ibu-ibu arisan dan pengajian bukan? Siapa yang berperan di sana? ya.. para reseller dan jastiper.

Menjelang tahun 2022, dunia digital, startup, belanja online, UMKM digital, ekonomi kreatif digital Indonesia rasanya akan makin membesar dan menggila. Peluang pemain baru pun makin besar, sementara pemain lama mustinya sudah naik kelas. Yang dulu masih perusahaan rintisan mungkin sudah jadi unicorn, dan yang dulu unicorn mungkin sudah jadi decacorn. Bagaimana dengan kelompok para pemain dan pelakunya? saya membayangkan ada perubahan khas Indonesia, yaitu selain ada Hipster, Hustler, dan Hacker, saya koq merasa kita tidak boleh tutup mata dengan hadirnya hawker, yaitu mereka yang giat menjadi penjaja, baik itu penjaja produk seperti reseller dan jastiper, juga mereka yang menjajakan produk atau jasa digital ke pengguna baru. Ingat, pelaku UMKM kita mayoritas dulu itu gagap teknologi, nah siapa yang berjasa membantu dan mengedukasi mereka untuk migrasi ke market place online? ya.. mereka lah para hawker.

Startup digital Indonesia.. Hacker, Hipster, Hustler… Hawker!

«
»

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: