Kebebasan Aksi Yang Melahirkan Kebebasan Reaksi

Seperti biasa, pagi itu Jl. Pramuka Jakarta macet sekali. Saya baru pulang tugas malam di rumah ibu. Mobil-mobil mengantri dengan sabar dan pasrah saja. Sementara di jalur busway nampak kosong dan memikat sekali untuk orang-orang yang tidak sabar. Tidak lama, saya melihat dari kaca spion sebuah motor nekad menerobos jalur busway. Di ujung sana, seorang bapak petugas LLAJR berbadan tambun berdiri di tengah jalur busway siap menghadang si pemotor. Namun apa yang terjadi?

Pemotor tadi terus tancap gas dan ingin menabrak sang petugas. Petugas mengeles sambil memukulkan tongkatnya ke helm pemotor. Saya dan supir taksi menyaksikan adegan itu dengan hening. Tak di sangka, si pemotor berhenti dan memutarkan balik motornya ke arah petugas tadi. Nampaknya ia marah karena dipukul helm / kepala-nya. Petugas tadi mau ditabrak dan si pengendara motor itu dengan beringas berusaha memukul muka si petugas. Saya di dalam taksi seolah tak terima, lantas mencoba turun untuk membela si petugas. Saya dilarang oleh supir taksi. “Sebaiknya jangan mas, ulah dan sikap pengendara motor suka aneh-aneh dan nekad. Belum lagi jika sesama pemotor datang dan membelanya”. Begitu kira-kiralah pertimbangan si supir kepada saya. Saya tidak jadi turun dan diam saja di taksi dengan perasaan yang berantakan.

aksireaksi

Ilustrasi pelanggaran kolektif

Kebebasan Aksi dan Kebebasan Reaksi

Di luar kejadian pengendara motor dan petugas LLAJR barusan, rasa-rasanya saya sering menemukan hal serupa yaitu bagaimana sebuah reaksi bisa terjadi di luar dugaan kita. Reaksi seseorang atas sebuah kejadian bisa terjadi di luar kebiasaan, di luar nalar, bahkan di luar logika! Seperti saat saya mendengar bagaimana ada seorang bisa dibunuh oleh teman dekatnya sendiri hanya gara-gara hal sepele misalnya dicela dandanannya. Sungguh sebuah reaksi yang di luar nalar banyak orang. Faktanya, ini ada dan terjadi di sekitar kita bukan?

Setiap aksi pasti mendapatkan reaksi, apa pun itu. Aksi seorang ibu pada anaknya dalam melarang untuk tidak main keluar rumah, ternyata bisa bereaksi membuat anak itu jadi anti sosial. Dampak dari reaksi itu pun ternyata bisa tumbuh dan melekat hingga anak itu dewasa. Aksi seorang atasan yang menegur bawahannya karena pekerjaan pun bisa bereaksi membuat bawahannya tadi membunuh rekan kerjanya karena ia tidak sanggup melepaskan amarahnya kepada atasannya. Juga banyak sekali contoh-contoh bagaimana sebuah aksi bisa menimbulkan reaksi di luar dugaan kita.

Aksi dan reaksi ini pun ternyata tidak terjadi hanya di antara manusia. Manusia kini berada pada puncak kejumawaannya. Ego superior mereka dalam aksinya mengolah alam pun kini membuat alam bereaksi, musim bergeser tidak menentu. Panas,  hujan, musim, badai, dan seterusnya adalah reaksi alam atas aksi manusia pada alam. Ego manusia yang komunal ini kini berkembang kepada ego manusia secara individu, yaitu sejak munculnya teknologi informasi (IT) dan komputer personal (PC). Setiap individu memiliki kebebasan penuh untuk menentukan kebutuhan dan keinginannya dalam bekerja melalui PC. Komputer digunakan sebebas-bebasnya oleh kita, ada yang dipakai untuk bekerja, belajar, bahkan hanya untuk main game atau koleksi gambar porno, bebas saja. Yang kemudian saat internet masuk PC, maka saat itulah kebebasan antar individu mulai bertemu dan bertabrakan. Toleransi antar kebebasan diuji, kebebasan menulis opini di blog mulai mendapatkan reaksi dari individu lainnya. Baik itu reaksi pujian, setuju dengan pemikirannya, sampai reaksi ketidaksetujuan hingga protes, dan marah.

Kode Etika dan Etika Kebebasan

Kini di jaman teknologi yang makin canggih, komputer, gadget, media sosial, media massa, tiap individu seakan memiliki kebebasan yang sangat terbuka lebar. Kita berada di jaman tanpa batas, baik batas negara, batas norma, bahkan batas-batas agama. Adu argumentasi individu, pemikiran, dan gagasan terjadi hampir tiap detik di ranah media sosial dan media massa (TV, koran , web). Semua sah dilakukan atas nama kebebasan berpendapat dan beropini. Ya saya pikir itu sah dan wajar karena itu hak setiap orang. Akan tetapi yang seringkali terlupakan adalah dari semua kebebasan aksi beropini tadi jarang yang memperhitungkan reaksi dari individu lain. Bahwasannya kebebasan kita dalam beraksi seiring pula dengan munculnya kebebasan dalam bereaksi. Aksi dari komentar seorang gubernur atau walikota pun bisa memicu reaksi dari kalangan masyarakat tertentu atau ormas. Aksi dari sebuah tayangan TV mampu membuat reaksi marahnya sekelompok masyarakat. Walaupun   ternyata yang protes itu bukan penonton aktif TV juga. Salah kah? ternyata tidak. Ini semua seolah terjadi sebagai reaksi atas reaksi satu dengan reaksi lainnya. Kebebasan kita dalam beraksi melahirkan kebebasan dalam bereaksi juga.

Baru saja kita mendengar kabar buruk, bagaimana tiga orang bisa bebas turun ke jalan membawa senapan semi-otomatis memberondong kantor sebuah majalah di Perancis. Kebrutalan yang mengakibatkan 12 orang tewas seketika. Semua itu dilakukan hanya karena REAKSI atas sebuah gambar sampul majalah tersebut. Saya tidak mau terjebak membahas ini ke ranah agama – sebagaimana yang tergambarkan di gambar sampul majalah tadi. Bagi saya ini adalah sebuah tragedi yang lahir akibat kebebasan beraksi yang menimbulkan reaksi yang di luar logika saja.

Kemarahan banyak orang atas sikap 3 orang tadi seolah memprotes cara berfikir dan logika mereka dalam bersikap. Sementara tidak sedikit pula orang-orang yang membela ketiga orang tadi atas nama ini itu anu dan seterusnya. Di sini membuktikan bahwa kita tidak bisa berharap orang memiliki reaksi yang sama. Bahwa reaksi yang benar adalah yang seperti ini, bahwa reaksi yang logis adalah harus begini. Tidak bisa… semua itu sungguh sudah di luar nalar dan logika kita.

Kita semua tahu bahwa menerobos jalur busway adalah hal salah, tapi tidak banyak dari kita yang mampu bereaksi ketika kesalahan itu terjadi di depan mata kita. Semata-mata kita ogah menerima reaksi yang akhirnya menyusahkan kita sendiri bukan? Di sisi lain ada orang yang berani melakukan aksi liar tanpa rasa takut karena ia yakin bahwa tidak akan ada reaksi yang menentang / melawan dia. Pada akhirnya, setiap orang bebas melakukan aksinya dan setiap orang kini bebas melakukan reaksinya. Pertarungan gagasan sudah bukan terjadi di ranah pemikiran dan diskusi, melainkan sudah turun ke jalan dalam bentuk reaksi antar reaksi yang sungguh memprihatinkan.

Tulisan ini saya jadikan catatan untuk mawas diri. Saya harus hati-hati dalam beraksi karena saya tidak pernah tahu rekasi orang atas aksi saya. Begitu pun saya harus berhitung dalam bereaksi. Karena bagaimana pun dalam setiap reaksi akan muncul lagi reaksi selanjutnya dan begitu seterusnya.

 

 

«
»
Tags: ,

4 comments on “Kebebasan Aksi Yang Melahirkan Kebebasan Reaksi”

  1. Iya, mungkin sebelum beraksi kita juga harus memikirkan bagaimana reaksi atas aksi kita. Kebanyakan masalah terjadi karena kita tidak siap dengan reaksi yang akan kita dapat. 😀

    1. motulz says:

      begitulah kira2 🙂

  2. Mas Ivan says:

    Kata simbah perut keroncongan bikin naik pitam yang juntrungnya kerap timbul aksi multi reaksi. Si mamas penunggang motor mungkin juga begitu, atau takut gak bisa nahan pipis lantaran udah kebelet ditengah jalan ? Wallohu’alam…

    Atas aksi memang memang seperti yang mas Motulz bilang, “harus hati-hati dalam beraksi karena kita tidak pernah tahu rekasi orang atas aksi yang kita lakukan. Dalam beraksi juga demikian.

    1. Mas Ivan says:

      Dingapunten typo @UlangKata mas, stipo mana stipo 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: