Mengusut Pertikaian “Aturan vs Kebebasan”

Hampir tujuh belas tahun bangsa kita merayakan kebebasan berdemokrasi sejak pecahnya reformasi. Ironisnya, sekian belas tahun tadi tidak sedikit yang merayakan kebebasan tadi dengan melabrak semua aturan atau membuat aturan versi sendiri, atau bahkan menempatkan aturan yang berlapis. Bagaimana sesungguhnya kita menghadapi dan menjalani aturan ini?

Mengapa lampu rem belakang kendaraan kita berwarna merah? mengapa pula lampu sen berwarna oranye? Bolehkah lampu rem belakang, saya ganti dengan warna ungu?

Jika kita sadar, ada banyak simbol atau aturan-aturan yang kita  gunakan sehari-hari sebagai sebuah kesepakatan demi kepentingan bersama. Warna lampu mobil, klakson, rambu lalu lintas, marka jalan semua dibuat sebagai kesepakatan untuk keselamatan di jalan dan pengguna jalan. Untuk menjaga kesepakatan atutan ini pun maka polantas menerbitkan aturan agar saya tidak mengganti warna lampu rem mobil saya dengan warna ungu.

Di saat begadang, saya dan teman-teman suka bermain kartu remi. Akan tetapi sebelum main kami harus memutuskan aturan remi mana yang akan kami pegang. Karena ternyata ada banyak sekali versi aturan permainan remi. Hal ini kami lakukan demi menghindari kecurangan atau kerugian saat kami dalam permainan nanti.

Dulu, seorang tokoh bisnis yang saya kagumi – Richard Branson, CEO dari Virgin Group datang ke Indonesia. Ia memberikan ceramah bagus sekali tentang wirausaha dan bisnis. Dalam kesempatan itu ada pertanyaan bagus dari peserta, yaitu mengapa Pak Branson tidak membuka kantor cabang salah satu perusahaan Virgin-nya di Indonesia? Jawaban Pak Branson pun bagus sekali, dia menjawab dengan sangat diplomatis.

Kira-kira penjelasan Pak Branson seperti ini: Bisnis adalah permainan, dalam permainan pasti akan terjadi kompetisi dan persaingan. Akan tetapi untuk membuat kompetisi dan persaingan ini fair dan sehat maka harus ada aturan main (UU) dan juga wasit (regulator) yang tegas dan komit, agar permainan tidak liar dan seenaknya. Saya tidak mau membuka bisnis atau usaha di negara yang aturan mainnya tidak jelas bahkan tidak ada wasitnya.

Dari semua contoh tadi saya berfikir, bagaimana mungkin di negara kita ini masih banyak sekelompok orang yang memaksakan kehendak atas aturan mana yang ia mau pakai dan aturan mana yang ia tidak mau pakai. Aturan sosial adalah komitmen kita sebagai manusia atas manusia lain, sementara aturan negara adalah komitmen dan keharusan kita sebagai warga negara. Pun demikian dengan aturan agama yang mana adalah komitmen dan kewajiban kita sebagai umat.

Masih banyak kita melihat bagaimana dalam sebuah aktivitas ada aturan di atas aturan lain. Misalnya ketika ada beberapa kelompok orang yang tidak mau mengenakan helm di jalan lantas saat diberhentikan dan ditanya polisi, maka jawaban mereka adalah karena di agama mereka tidak ada larangan itu. Ini kan aneh, seolah bermaksud meninggikan aturan agama alih-alih malah mengkerdilkan aturan agama itu sendiri seolah ketinggalan zaman. Agama pun tidak mengatur bahwa lampu rem belakang mobil itu harus berwarna merah bukan?

Dalam sesi lain, saya pernah mengobrol santai dengan teman yang begitu taat dan kuat sekali menjalani agama. Ia menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari sebagai warga negara pun kita harus menggunakan aturan agama, karena aturan agama mencakup semuanya termasuk kehidupan bernegara. Di situ saya melihat bahwa ada keblunderan pemahaman atas kehidupan bernegara dengan kehidupan beragama. Karena bagaimana pun aturan negara dibuat bukan untuk menggantikan aturan agama, melainkan karena tujuan dan kebutuhannya pun berbeda.

Saya bertanya ke teman saya tadi, bisakah anda pergi keluar negeri tanpa passport? Apakah agama mengatur tata cara kita untuk berkunjung ke luar negeri? Bagaimana jika sampai di negara sana kita ditolak masuk karena tidak membawa passport? Bahkan di sebuah negara yang berdasarkan agama sekalipun? Bahwasannya passport itu adalah kesepakatan aturan dalam kehidupan bernegara, negara kita sendiri juga negara-negara lain di dunia. Ini menjelaskan bahwa semua harus ada aturannya dan aturan itu ada kesepakatannya.

Bagaimana mungkin dalam kehidupan bernegara dan bersosial dijalani dengan pemahaman aturan yang beda-beda? Ibarat dalam permainan sepakbola masing-masing pemain memiliki versi aturannya sendiri-sendiri? Lantas membawa wasitnya sendiri-sendiri? Bayangkan saja, satu lapangan, satu pertandingan, tapi ada dua aturan dan dua wasit? Sudah pasti dijamin permainan itu akan menjadi kacau dan potensi menjadi konflik. Bagaimana tidak? masing-masing akan mengedepankan aturannya sendiri-sendiri dan berpegang kepada wasit atau ketuanya masing-masingkan?

Memahami dan menjalani aturan memang bukan hal mudah, harus dididik sejak usia dini. Termasuk dari bimbingan orang tua dan guru yang harus paham dengan konsep aturan itu tadi. Dengan demikian si anak akan paham dengan adanya aturan dalam agama, aturan negara, dan aturan sosial (tata krama dan sopan santun). Ketiga aturan ini bukan saling menggantikan melainkan saling mengkapi. Masyarakat yang paham dalam menjalani ketiga aturan ini jelas akan membawa kepada masyarakat yang bermoral dan berbudaya. Yang mana payung besar dari ketiga aturan tersebut dikemas oleh founding father kita dalam sebuah pegangan aturan bernama Pancasila.

«
»

One comment on “Mengusut Pertikaian “Aturan vs Kebebasan””

  1. Francesco says:

    magnificent points altogether, you simply won a new reader.
    What may you recommend in regards to your put up that you
    made some days ago? Any sure?

Leave a Reply to Francesco Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: