Melawan Lupa Atas Makna Pahlawan

Zaman di mana semua hal adalah jual-beli. Waktu adalah uang dan tenaga ada harganya, maka tindakan pengorbanan menjadi berarti dan mahal harganya. Berkorban bagi orang lain kini dinilai dari “harga”-nya, bukan “nilai-nilai kemanusiaannya”. Di zaman yang semua ada “harga”-nya, bagaimana kita bisa memaknai “harga” seorang pahlawan?

IMG_6300-small

Pahlawan memang bukan sebuah profesi, juga bukan tingkat jabatan. Bagi segelintir orang sebutan pahlawan ini dinilai sebagai sebuah penghargaan hanya bagi pejuang yang gugur di medan perang. Kemudian sebutan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Memang betul, di dalam dunia kemiliteran pahlawan diberi sebuah tanda jasa simbolik sebagai bentuk kongkrit dan rasa penghargaannya tersebut. Mungkin nilai medalinya pun tidak berharga jika dinilai dari bahan logam dan pitanya. Berbeda dengan medali yang diterima atlet saat bertanding. Namun persamaannya adalah kedua medali tadi lebih sebagai simbol “penghargaan atas nilai” bukan “penghargaan atas harga”.

Siapa Itu Pahlawan

Siapa yang berhak disebut pahlawan? Pahlawan bukanlah sebuah penghargaan yang bisa diperoleh dengan cara beli atau tukar guling. Sebutan pahlawan hanya bisa diberikan oleh orang lain kepada seseorang yang telah berkorban bagi orang lainnya. Rumit? rasanya tidak juga. Seorang prajurit atau pejuang kemerdekaan mereka bertempur dengan sepenuh niat, hati, dan semangat. Tanpa mengejar imbalan atau hadiah dikemudian hari. Di hati mereka hanya ada ketulusan dan tekad bulat yang muncul dari lubuk hati terdalam. Ketika mereka akhirnya harus gugur, maka ketulusan dan keiklasan perjuangan mereka ini lah yang menjadi sebuah nilai yang tak terhingga. Atas jasa yang tak terbayarkan itulah maka seseorang layak diberi penghargaan sebagai seorang pahlawan.

Menjadi pahlawan tentu berlaku bagi siapa pun. Ayah tentu saja layak menjadi pahlawan bagi isteri dan anak-anaknya. Begitu pun bagi isteri dan anak tentu saja menjadi pahlawan. Seorang pegawai perusahaan tentu bisa disebut pahlawan bagi perusahaan begitupun seorang bos yang menjadi pahlawan bagi bawahannya. Semua itu bisa terjadi jika semua pengorbanan mereka dilakukan dengan sepenuh hati dan ketulusan tanpa pamrih.

Yang lebih punya nilai lagi adalah saat pengorbanan dilakukan bagi banyak orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Misalnya para pejuang tadi, pengorbanan mereka sangat punya arti bagi semua penduduk Indonesia bahkan yang hidup di masa kini. Pengorbanan mereka jaman dahulu tidak semata-mata pudar karena waktu. Rasa kebebasan dan arti kehidupan manusia yang utuh bisa kita peroleh berkat pengorbanan para pejuang-pejuang tersebut.

Seseorang yang mengamankan paku atau benda tajam dari tempat yang membahayakan orang lain sebetulnya sudah bisa disebut pahlawan. Karena paku atau benda tajam itu sangat membahayakan bagi seseorang yang tidak sengaja menjadi korbannya. Begipula sesederhana jika kita tidak membuang sampah agar tempat yang dihuni banyak orang tidak dilanda banjir saat musim hujan. Lantas apa nilai pengorbanannya bagi seseorang yang cuma- menyingkirkan paku? Di jaman moderen seperti sekarang ini, hampir segala aspek kehidupan cuma dinilai dengan nilai uang. Membantu orang untuk mengejar upah, mengorbankan waktu demi uang sewa dan seterusnya. Rasanya semua hal menjadi punya label harga dan mahal sekali. Kalimat waktu adalah uang pun sudah menjadi arti naratif yang sesungguhnya. Tidak ada keringat yang bisa keluar dengan gratis.

Dahulu, kita sering mendengar istilah gotong-royong. Sebuah pekerjaan yang dilakukan bersama dan beramai-ramai untuk kepentingan yang sama. Pekerjaan itu dilakukan bukan atas dasar upah atau sewa namun sepenuhnya oleh ketulusan. Membersihkan selokan bersama-sama warga tentu punya manfaat bagi warga yang tinggal di sekitar selokan tersebut.

Jadilah Pahlawan

Menjadi pahlawan memang bukan tujuan mencari pujian dari orang lain, karena hal itu sudah menjadikan nilai ketulusannya pudar dan hilang. Dengan kata lain tindakan tersebut disebut pamrih. Sebaliknya, bagi sebuah pengorbanan yang tulus ada sebuah nilai yang sangat mahal yaitu membuat orang lain bisa tersenyum, kagum, bahkan salut dan layak dikenang. Melakukan kebaikan untuk orang lain apalagi dalam bentuk pengorbanan jelas memiliki nilai yang bukan bisa dikuantifikasi dengan uang melainkan nilai-nilai kemanusiaan. Di sana ada PRIDE dan DIGNITY, atau harga diri dan martabat. Yang mana keduanya kini mulai pudar dan mulai hilang sejak bangsa kita ditenggelamkan oleh semangat mencari uang. Seolah dengan uang maka setiap orang bisa membeli harga diri dan martabat. Bisa kah?

Ini mengingatkan kita bahwa ketika manusia mati maka nama dan jasanyalah yang dikenang. Ketika seorang guru wafat, rasa duka mendalam dan tulus dari para muridnya tentu punya nilai yang tiada terhingga. Jikalau pada akhirnya para mantan murid itu rela menyumbangkan uang sebagai rasa dukanya tentu sangat berarti bagi yang ditinggalkan bukan bagi yang meninggal. Namun keharuman nama dan manfaat jasa yang ditinggalkan sudah barang tentu menjadi pahala dan ganjaran bagi si almarhum dan ini berlangsung sepanjang hayat.

Tidaklah gampang memberikan pengorbanan bagi orang lain di jaman moderen seperti sekarang ini. Ketika jargon-jargon kepahlawanan justeru terdengar naif dan vintage. Ketika semua pengorbanan cenderung dinilai sebagai upaya cari muka. Ketika semua kebaikan dicurigai sebagai ada mau-nya. Namun di saat itu lah nyata betul bahwa setiap kebaikan dan pengorbanan kita bagi orang lain akan lebih terasa nilainya jika dilakukan dengan tanpa pamrih, tanpa cari muka, ada maunya, bahkan demi upah dan uang sewa. Melakukan kebaikan untuk orang lain adalah cara kita membangun harga diri dan martabat. Maka ketika ada seseorang yang berhasil mendapatkan manfaat dari pengorbanan kita tadi, bukan tidak mungkin dia akan terhenyuh lantas tersenyum dan tidak sungkan menganggap kita sebagai pahlawan.

Suatu hari saya shooting di sebuah terminal bis dekat Asrama Haji Pondok Gede. Pagi itu seorang anak sibuk dengan sapunya.  Membersihkan sampah yang berserakan di kawasan terminal bis. Saya hanya berfikir, anak sebesar ini mustinya sedang berada di sekolah pada jam-jam segini. Belajar dan bermain bersama teman-temannya. Tapi nampaknya situasi yang memaksa anak ini harus mengorbankan masa kanak-kanaknya itu. Pengorbanan untuk siapa? mungkin membantu orang tuanya, atau mungkin orang tuanya yang sedang tidak bisa bekerja karena sakit? Di saat itu saya berfikir bahwa anak ini sudah menjadi pahlawan bagi keluarganya.

Hormat dan Salut

Sebaliknya, coba lah kita luangkan waktu untuk mencoba mengingat siapa-siapa saja orang yang layak kita sebut pahlawan, paling tidak hanya untuk diri kita saja. Orang tua kita kah? Guru kita? teman sejawat? kekasih? anak-anak kita? Tetangga? Tukang parkir yang membantu ban mobil saya yang bocor tanpa minta imbalan? Seorang tukang warung yang meminjamkan payung saat hujan? Seorang bapak yang membantu memberhentikan angkutan kota buat anak SD?

Siapa-siapa saja orang yang mampu memberikan inspirasi kehidupan kita? Mari kita doakan mereka atas jasa dan pengorbanan mereka yang mungkin mereka pun tidak mengetahuinya. Ketidaktahuan mereka atas pengorbanan mereka itulah yang menjadikannya pengorbanannya punya nilai yang sangat tinggi. Salam hormat dan salut bagi mereka semua.

Mari kita coba menjadi pahlawan bagi orang-orang terdekat kita paling tidak sehari saja. Lakukan untuk diri kita saja tanpa mereka harus tahu. Kita sama-sama menikmati rasanya membangun harga diri dan martabat, bukan karena uang. Semoga kebaikan dan pengorbanan itu akan meningkatkan arti dan nilai kita sebagai manusia.

Selamat Hari Pahlawan..

«
»

2 comments on “Melawan Lupa Atas Makna Pahlawan”

  1. Nice thought. Thanks for sharing

    1. motulz says:

      makasih 😉

Leave a Reply to Nurul Rahmawati Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: