Eksotika Cerita Kopi Wamena Papua

“Bapa, boleh saya ngobrol-ngobrol?” Tanya saya,

“Boleh.. Silakan anak” Jawab Bapa Lani dengan nada bijaksana.

Di masyarakat Papua, para orang tua akan memanggil atau menyebut “anak” untuk lawan bicara yang jauh lebih muda. Wajar juga kalau saya dipanggil anak karena yang saya ajak bicara ini adalah sosok Bapa yang sudah tua tapi masih gagah untuk bekerja, pergi – kembali dari Jayapura ke Wamena, demi desa dan demi kopinya.

“Bapa, saya dengar masyarakat desa dulu tidak suka menanam kopi apa betul?” Pertanyaan inilah yang membuka cerita Pak Lani tentang motto hidup masyarakat Wamena, yaitu:

Heki a wolok
Ape a wolok

Yang artinya : Tangan dulu bekerja, baru mulut bekerja.

(heki : tangan, ape : mulut, wolok : kerja)



Bekerja dulu baru bicara

Berawal dari kunjungan saya ke Jayapura diajak Pak Piter Tan untuk melihat “perguruan kopi” miliknya di atas bukit di salah satu kawasan Jayapura dan bertemu dengan salah seorang kepala adat desa yang juga petani kopi di Wamena, yaitu Bapa Maksimus Lani (64 th) – beliau dipanggil Bapa Lani. Selain Pak Piter dan Bapa Lani, ada juga Nonyo Lani yang usianya kurang lebih 18 tahun yang sudah 8 bulan lebih tinggal di situ untuk ikut sekolah barista. Dari mereka lah saya mendapatkan banyak cerita dan salah satunya adalah tentang motto hidup masyarakat Wamena tadi.

“Heki a wolok, ape a wolok”. Makna dari kalimat itu adalah tangan dulu yang bekerja, baru kemudian mulut yang bekerja. Atau gampangnya menurut istilah kids zaman now : kerja dulu baru ngomong. Bapa Lani menjelaskan makan motto hidup tersebut. Jadi masyarakat Wamena sudah diberkati tanah dan lahan yang sangat subur. Bapa Lani menyakinkan saya bahwa semua kemakmuran tanah Wamena ini adalah pemberian Tuhan. “Tuhan sangat adil ke kami” katanya. Semua suku di Wamena diberikan Tuhan tanah yang subur jadi tidak ada yang iri dan berkelahi hanya karena ada tanah yang tidak subur. Karena tanah itulah maka masyarakat Wamena mudah mendapatkan makanan, dengan cara : mengolah tanah dan bercocok tanam.



Sejak leluhur dulu, mereka sangat percaya bahwa untuk bisa hidup harus tangan dulu yang bekerja. Karena jika tidak maka mulut tidak akan bisa bekerja (baik mengunyah makanan, berbicara, atau tukar pikiran). Maka dari itu masyarakat Wamena sangat menjalani cara hidup seperti itu. Banyak dari mereka yang tidak banyak bicara, hanya kerja, kerja, dan kerja.

Saat berkunjung di Wamena, saya melihat Bapa Lani serius sekali memberikan pengarahan kepada banyak petani kopi. Saat itu Bapa Lani mengingatkan kepada mereka agar tidak lagi menjual “kopi pecah”. Apa itu? Jadi.. ada banyak petani kopi yang menjual biji kopi dengan cara ditumbuk terlebih dahulu. Yang sebetulnya cara ini merugikan petani kopi karena beratnya jadi berkurang saat ditimbang untuk dijual. Selain itu, kopi pecah sulit dijual karena dianggap mutunya yang rendah. Ketidaktahuan para petani kopi ini jelas jadi perhatian Bapa Lani dan Pak Piter, makanya mereka akhirnya harus turun langsung dan memberikan wejangan pada petani-petani.

“Bagaimana dengan Bapa yang bicara ke para petani?” tanya saya.

Sejarah Kopi Wamena

Bapa Lani bercerita bahwa dulu ia adalah seorang petani kopi juga. Saat kecil ia sudah menyaksikan bagaimana orang tuanya menanam kopi di lahan tanah adat atas perintah kumpeni Belanda (dugaan saya ini saat Agresi Militer Belanda II dan Irian Barat). Saat itu orang tua Bapa Lani hanya jadi buruh (tanam paksa), mereka sama sekali tidak tahu kenapa mereka harus menanam pohon kopi, lalu panen, dan para kumpeni tadi membawa hasil panennya pergi begitu saja. Masyarakat pun tak tahu akan diapakan buah-buah kopi tadi. Hingga pada suatu saat, semua kumpeni Belanda itu pergi secara tiba-tiba dan tak kembali.

Orang tua Bapa Lani dan petani-petani kopi lainnya pun saling berpandangan dan tak paham harus diapakan semua pepohonan yang sudah tertanam ini? Saat panen tiba, mereka mencoba memetik lagi buah kopi yang sudah merah lalu dicoba dengan cara dimakan begitu saja, ternyata manis.. lalu bijinya dilepeh dan dibuang. Oh ternyata hanya begitu saja sudah? Lantas apa menariknya buah kopi ini? Karena ketidaktahuan inilah maka semua pohon-pohon kopi tadi ditebang, dibabat habis semua! Setelah itu semua lahan tadi digunakan untuk bercocok tanam sayuran, umbi-umbian, buah-buahan dan lain sebagainya. Anggapan mereka hasil panen kebun yang ini lebih bisa djual langsung ke pasar dibanding buah kopi yang entah harus dijual kemana?

Hal ini terjadi puluhan tahun, hingga akhirnya datanglah para pedagang kopi dari Jawa yang kaget bahwa ada banyak sekali pepohonan kopi liar di banyak desa di Wamena. Kenapa liar? ya karena pepohonan tersebut tidak begitu dirawat oleh petani. Ia tumbuh dan hidup secara liar akibat buah kopi yang matang tak dipetik, lalu jatuh ke tanah yang kemudian tumbuh jadi pohon kopi baru. Tidak diberi pupuk, tidak ada penyemprotan pestisida, bahkan nyaris tidak ada polusi udara karena tidak ada kendaraan bermotor yang sanggup masuk ke hutan pedalaman. Semua bisa terjadi karena saking suburnya tanah Wamena ini. Sejak itu, Bapa Lani sebagai ketua desa diberitahu oleh pedagang kopi asal Jawa tadi bagaimana berharganya kopi-kopi asli Wamena ini. Dari situlah akhirnya Bapa Lani mengajak para penggarap lahan adat ini berkumpul dan kembali menanam dan merawat pohon-pohon kopinya.



Seiring waktu, hasil kopi dari berbagai desa menjadi lebih banyak, lebih baik, dan dibeli dengan harga yang sangat bagus. Semua berkat kerjasama dan perjuangan tanpa lelah dari Bapa Lani dengan Pak Piter Tan ini. Akhirnya Bapa Lani bisa dibilang punya banyak waktu lebih untuk memberikan masukan, wejangan, dan nasehat kepada para petani-petani kopi lain. Dalam hal ini, Bapa Lani bilang bahwa ia sudah bekerja dengan tangan selama puluhan tahun, sudah saatnya pula ia harus bekerja dengan mulut agar dapat membantu petani lain bahkan petani baru yang ingin memulai bercocok tanam kopi.

Saya makin tergugah, tentang makna dari pesan Bapa Lani ini bagus sekali. Bahwasannya tangan dan mulut itu keduanya memang harus bekerja. Ketika kita sudah bekerja dengan tangan, maka akan ada saatnya mulut yang harus bekerja. Tangan bekerja untuk diri kita sendiri, tapi mulut bekerja selain untuk kita sendiri tapi juga bisa untuk orang lain. Sebuah local wisdom yang sangat indah bukan?

Mari ngopi..

Saya suka traveling dan saya juga suka bertemu dengan orang lokal. Hal-hal baru seperti inilah yang membuat saya tertarik, baik sekedar cerita, icip-icip makanan, seruput kopi, hingga dapat wejangan dari petuah leluhur sebuah adat. Makin terasa bahwa makin jauh kita bepergian, makin banyak cerita yang kita bisa dapatkan.. mustinya kan?

Bapa Lani.. wah wah wah 🙏🏼
( artinya Terima Kasih dalam bahasa Wamena )


Terima kasih juga untuk Pak Piter Tan dari Pit’s Corner Coffee dan Kopi Garuda Mas

«
»

5 comments on “Eksotika Cerita Kopi Wamena Papua”

  1. nurmanjaya says:

    Dibawain oleh-oleh kopi oleh Bapa Lani gak? Bagi-bagi atuh 😀

    1. motulz says:

      Dibawain Bapa.. 😀 ayo bapa mari kita ngopi sudah

  2. vira says:

    tangan dan mulut sama-sama bekerja.. filosofi yang bagus! jadi manfaat suatu ilmu/skill nggak berhenti di kita doang ya.

    1. motulz says:

      asik ya 😀

  3. AHMAD FAUZI says:

    kira-kira bagaimana rasanya ya, ada ga perbedaan dengan kopi yang dari daerah lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: