Radio Gue Mati, Akhirnya?

“Video killed the radio star…”, sebuah lirik tembang hits 80-an dengan judul yang sama, yang videoklipnya ditayangan perdana menjadi tanda MTV muncul sebagai TV yang khusus memutarkan tayangan musik. Terlepas dari makna liriknya, pada tahun 80-an tren TV versus Radio begitu booming di seluruh dunia. Kemajuan media TV langsung diendus sebagai bakal pembunuh pertama media radio. Lagu lain yang hits di akhir tahun 80an adalah “Radio Ga Ga” oleh Queen.Radio – ternyata pernah mengalami juga masa sunset, atau diambang kemerosotan. Tahun 80-an adalah tahun keemasan industri TV dunia. Saat itu TV baru saja menjadi media yang berjaya di rumah-rumah masyarakat Amerika yang cemas mengikuti perkembangan berita perang di Vietnam. Setelah masa suram itu selesai, maka masa pencerahan TV dimulai. Dari sekedar media informasi dan pemberitaan saja TV berubah menjadi media hiburan, olah-raga, film, bahkan program-program gosip murahan.

Krisis

Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan dengan kampanye #RadioGueMati. Sebuah gerakan kepedulian yang digagas oleh organisasi radio swasta di Jakarta, untuk kembali mengajak pendengarnya kembali mendengarkan radio. Dari gerakan tersebut saya mulai mengendus kecurigaan akan sebuah “ancaman” yang dulu pernah terjadi dan kini terjadi lagi.

Saya adalah salah satu pengguna gadget kekinian yang masih rajin mendengarkan radio – serius. Saya besar di era kejayaan radio saat media TV di Indonesia hanya dimonopoli oleh TVRI. Saya besar sebagai pendengar setia Radio Prambors di Jakarta, tahun 80an. Bahkan saya ikut bergabung sebagai anggota Prambors Listeners Club, no. anggota saya 116265. Saya masih ingat sekali penyiar-penyiar Radio Prambors favorit saya, termasuk program-programnya.

Sejak era TV swasta (lepas decoder) di Indonesia, pelan-pelan saya mulai mengurangi jam mendengarkan siaran radio. Terlebih di zaman internet, di saat radio-radio mulai bergumul dalam satu group besar dan mulai menerapkan metode playlist. Metode playlist adalah, sebuah metode baru pemutaran lagu-lagu di radio dengan cara membuat paket lagu-lagu yang disiapkan oleh station radio lalu diputar di jam-jam tertentu dan diulang-ulang. Yang lebih dibanggakan lagi oleh stasiun radionya saat itu adalah bahwa di jam pemutaran lagu-lagu tersebut, disajikan tanpa jeda iklan. Betul saja, sejak itu.. radio-radio hampir di seluruh kota besar, mereka memutar kompilasi lagu-lagu yang sama – okelah hampir sama. Di saat itu saya jadi rindu sekali dengan radio-radio yang bertahan dengan memutarkan lagu-lagu unik, beda, aneh-aneh, bahkan lagu jadul dan lawas.

Era Playlist

Ternyata metode playlist ini memang digemari pendengar musik, yang celakanya adalah ketika ponsel berikut aplikasi musik dan playlst marak dan tumbuh pesat di Indonesia, sejak itu lah persaingan kompilasi playlist stasiun radio terpaksa harus beradu canggih dengan playlist buatan sendiri masing-masing penikmat musik di ponsel mereka. Di saat itulah pertarungan radio gaya playlist harus berjibaku menjaga pendengar setianya yang pelan-pelan tapi pasti mulai pindah mendengarkan musik via playlist apps atau bahkan YouTube. Tapi, benarkah semua radio mengalami kemerosotan ini? Saya menduga tidak..

Sebagai contoh, setiap saya naik taksi di Jakarta.. hampir banyak supir taksi yang bisa diajak ngobrol tentang politik adalah pendengar setia radio El Shinta, yang isinya setiap hari hampir jarang memutarkan lagu selain hanya orang diskusi dan terima telpon membahas politik. Satu lagi adalah saat saya di Surabaya, rasanya semua supir mobil atau bus, memutar radio apa itu ya? Suara Surabaya kah? Yang isinya jarang sekali mutar lagu kecuali informasi kemacetan dan pelaporan telpon tentang masalah di kota Surabaya. Dari dua contoh barusan saya jadi berfikir, bisa jadi saat ini adalah saat yang pas buat para punggawa radio untuk duduk bersama dan mencari tahu dampak perubahan teknologi dan kebutuhan masyarakat yang harus mereka adjust sebagai upaya memenuhi kebutuhan pendengarnya?

Ada yang bilang, teknologi itu berkembang sangat cepat seperti usia anjing. Perbandingannya 1 : 7 dengan usia manusia, manusia baru bergerak satu langkah, teknologi melesat cepat hingga 7 langkah di depan kita. Akan tetapi dengan kecepatan tersebut tidak sedikit akhirnya teknologi tadi jadi cepat usang, bahkan rontok dan mati digerus teknologi baru lainnya. Namun demikian, manusia sebagai pengguna media dan pemamah biak materi berita dan cerita (konten), rasanya tidak akan pernah turun, surut, atau bahkan hilang. Manusia sebagai masyarakat yang harus hidup dalam kebosanan rutinitas tentu akan terus membutuhkan dan mencari-cari konten dalam bentuk medium apa pun. Di sini radio harusnya dapat mencari celah dan siasat baru yang jitu.

Faktor Penyiar

Satu hal yang membuat saya tetap dan terus mendengarkan radio adalah – bukan karena musiknya saja, akan tetapi faktor humanis-nya juga, yaitu penyiarnya dan music director-nya. Penyiar radio – seperti kata jargon, selalu setia menemani pendengarnya. Di zaman yang sudah terlalu canggih dan dingin bak mesin, rasanya kita rindu ditemani oleh kehangatan dan radio mustinya bisa selalu menjadi medium tersebut. Begitu juga music director yang seringkali berani memilihkan dan menyajikan lagu-lagu yang tidak melulu demi popularitas atau pesanan label. Saya masih rindu suara tegas dan formalnya penyiar RRI, yang mana kini sudah hampir tak ada? Gaya bicaranya pun nyaris seragam dengan gaya kids zaman now. Saya rindu suara beratnya Mas Dana Sumirat di Prambors dulu dengan acara Memory Song-nya. Saya rindu canda dan tawa khas Mbak Ida Arimurti dan Mas Artha Bangun. Belum lagi becandaan konyol namun smart a la Mbak Indie Barends dan Farhan.

Sampai saat ini saya masih mendengarkan radio, di sisi tempat tidur saya ada radio alarm. Radio yang setia menemani saat saya mau tidur dan saat saya bangun. Bagi saya radio tidak bisa digantikan oleh sekedar playlist saja.. radio itu harus ada “nyawa”nya.. ada personifikasinya, ada sosoknya bagai teman imajiner kita. Pendengar rindu gaya cerita dan bicara penyiar radio yang mampu menyajikan “theater of mind” bagi pendengarnya. Namun kalau sampai faktor humanis-nya itu lenyap, maka radio akan hadir sebagai kotak suara yang dingin. Jika sampai itu terjadi maka percayalah.. saya pun akan mematikan radio dan sedih karena merasa ditinggal pergi oleh teman yang katanya setia mau menemani saya.

“Di radio.. aku dengar, lagu kesayanganmu. Kutelepon ke rumahmu, sedang apa sayangku?”

Sebuah lirik lagu yang dibawakan oleh alm. Gombloh yang begitu hits di tahun 90an. Bukan tentang radio akan tetapi terasa sekali betapa sebuah radio dapat menjembatani (medium) perasaan humanis seseorang yang jatuh cinta. Akankah radio sanggup menjembatani perasaan pendengarnya lagi? Bisa lah..!

Selamat Hari Radio..!

 

“Radio… someone still loves you”

Radio Ga Ga by Queen (1988)

 

 

 

 

«
»

4 comments on “Radio Gue Mati, Akhirnya?”

  1. Mayoritas warga Surabaya nyetel radionya Suara Surabaya. Bukan karena lagunya, tetapi lebih karena informasinya dan yang paling dicari adalah berita tentang kemacetan kota surabaya dan kota-kota lain di sekitar, kriminal, kecelakaan.

    1. motulz says:

      nah kan 🙂

  2. Dana Sumirat says:

    Menarik ya tulisannya, sayangnya baru “kebaca” sekarang, hehe. Salam sehat!

    1. motulz says:

      Waduh… ini beneran Mas Dana Sumirat??

      Duh sungkem **

      Salam sehat2 terus Mas.. maaf baru kebaca komennya juga

Leave a Reply to motulz Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

%d bloggers like this: